BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dewasa ini kita sering menyoroti hal-hal yang berkenaan dengan evaluasi, khususnya dalam kontek dengan
model-model dalam evaluasi pendidikan yang dilaksanakan di sekolah. Karena evaluasi itu sendiri merupakan salah satu proses dalam pengajaran, yang dalam batas-batas tertentu dapat merupakan indikator yang mempengaruhi perubahan perilaku siswa.
Dalam model evaluasi itu sendiri di pandang sebagai bahan atau input yang digunakan untuk kepentingan pengambilan keputusan dalam rangka penyesuaian-penyesuaian dan penyempurnaan sistem yang dikembangkan dalam pendidikan.
Oleh karena itu, kiranya perlu untuk dibahas tentang beberapa model evaluasi yang ada, diantaranya measurament model, congruence model, educational system evaluation model, dan illuminative model yang akan kita bahas pada makalah ini. Dengan penulisan makalah ini diharapkan kita dapat mengetahui secara jelas dan rinci tentang model evaluasi. Dengan demikian lebih jelasnya akan kami paparkan dalam pembahasan.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Masalah
BAB II
PEMBAHASAN
MODEL EVALUASI
A. Measurament Model
Model ini dipandang sebagai model yang tertua di dalam sejarah evaluasi dan telah banyak dikenal di dalam proses evaluasi pendidikan. Tokoh-tokoh evaluasi yang dipandang sebagai pengembang model ini adalah R. Thorndike dan R.L. Ebel.
1. Hakikat Evaluasi
Sesuai dengan namanya, model ini sangat menitikberatkan peranan kegiatan pengukuran di dalam melaksanakan proses evaluasi. Pengukuran dipandang sebagai seatu kegiatan yang ilmiah dan dapat diterapkan dalam bidang persoalan termasuk ke dalamnya bidang pendidikan.
Besarnya peranan atau arti pengukuran dalam proses evaluasi menurut model ini, telah menyebabkan kaburnya batas-batas antara pengertian pengukuran dan evaluasi itu sendiri bahwa jika tanpa pengukuran tidak ada evaluasi. Ini tentu akan membawa kita kepada pertanyaan tentang apa yang dimaksudkan dengan pengukuran itu.
Pengukuran, menurut model ini tidak dapat dilepaskan dari pengertian kuantitas atau jumlah. Jumlah ini akan menunjukan besarnya (magnitude) objek, orang ataupun peristiwa yang dilukuiskan dalam bentuk unit-unit ukuran tertentu seperti misalnya menit, derajat, meter, percentile dan sebagainya, sehingga dengan demikkian hasil pengukuran itu selalu dinyatatakan dalam bentuk bilangan.
Menurut model ini, evaluasi pendidikan pada dasarnya tidak lain adalah pengukuran terhadap berbagai aspek tingkah laku dengan tujuan untuk melihat perbedaan-perbedaan individu atau kelompok , yang hasilnya diperlukan dalam rangka seleksi, bimbingan dan perencanaan pendidikan bagi para siswa di sekolah.
2. Ruang lingkup evaluasi
Yang dijadikan objek dari kegiatan evaluasi model ini adalah tingkah laku, terutama tingkah laku siswa. Aspek tingkah laku siswa yang dinilai di sini mencakup kemampuan hasil belajar, kemampuan pembawaan (inteligensi, bakat), minat, sikap dan juga aspek-aspek kepribadian siswa. Dengan kata lain, objek evaluasi di sini mencakup baik aspek kognitif maupun dengan kegiatan evaluasi pendidikan di sekolah, model ini menitikberatkan pada pengukuran terhadap hasil belajar yang dicapai siswa pada masing-masing bidang pelajaran dengan menggunakan tes. Hasil belajar yang dijadikan objek evaluasi di sini adalah hasil belajar dalam bidang pengetahuan (kognitif) yang mencakup berbagai tingkat kemampuan seperti kemampuan ingatan, pemahaman aplikasi dan sebagainya, yang evaluasinya dapat dilakukan secara kuantitatif-objektif dengan menggunakan prosedur yang dapat distandardisasikan. Program pengukuran hasil belajar yang dilaksanakan secara baik menurut model ini, akan dapat memenuhi kebutuhan berbagai pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan proses pendidikan, para pengawas, kepala sekolah, guru, pembimbing, dan orang tua.
3. Pendekatan
Alat evaluasi yang lazim digunakan di dalam model evaluasi ini adalah tes tertulis atau paper and pencil test. Secara lebih khusus lagi, bentuk tes yang biasanya digunakan adalah bentuk tes objektif yang soal-soalnya berupa pilihan ganda, menjodohkan, benar salah dan sebagainya.
Sekalipun ada kritikan-kritikan mengenai penggunaan bentuk-bentuk tertentu dari tes objektif ini, misalnya bentuk benar-salah yang dianggap “lemah”, tokoh-tokoh dari model evaluasi ini tetap berpendapat bahwa bentuk “benar-salah” ini masih dapat terus digunakan asal disusun secara baik.
Untuk mendapatkan hasil pengukuran yang setepat mungkin ada kecenderungan dari model measurement ini untuk mengembangkan alat-alat evaluasi (tes) yang baku atau standardized. Tes yang belum dilakukan dipandang kurang dapat mencapai tujuan dari pengukuran itu sendiri. Oleh karena itu, setelah suatu tes dicobakan kepada sampel yang cukup besar, berdasarkan data yang diperoleh, diadakan analisis untuk menentukan validitas dan reliabilitas tes secara keseluruhan maupun setiap soal yang terdapat di dalamnya. Mengingat salah satu tujuan pengukuran adalah mengungkapkan perbedaan individual di kalangan para siswa, dalam menganalisis soal-soal tes sangat diperhatikan faktor tingkat kesukaran dan daya pembeda yang dimilik masing-masing soal. Dalam hubungan dengan tingkat kesukaran, setiap tes hasil belajar diharapkan mempunyai penyebaran yang merata dalam tingkat kesukaran sehingga cukup memberikan tantangan kepada siswa-siswa yang pandai, namun tetap memberikan kemungkinan kepada siswa-siswa yang kurang pandai untuk menunjukan kebolehannya. Mengenai daya pembeda, setiap soal tes ddiharapkan dapat membedakan antara siswa yang pandai dan siswa yang kurang. Suatu soal dipandang memiliki daya pembeda yang tinggi bila berdasarkan analisis hasil percobaan, kelompok siswa yang pandai menjawab soal tersebut dengan betul, sedangkan kelompok siswa yang kurang pandai menjawab soal tersebut dengan salah.
Pendekatan yang juga ditempuh oleh model ini di dalam menilai sistem Pendidikan adalah membandingkan hasil belajar antara dua atau lebih kelompok yang menggunakan cara pengajaran yang berbeda sebagai variabel bebas. Dalam evaluasi ini, kepada dua/lebih kelompok tersebut diberikan tes yang sama untuk kemudian dianalisis perbedaan skor yang dicapai oleh kelompok-kelompok tadi. Analisis perbedaan skor ini dilakukan dengan menggunakan cara-cara statistik tertentu untuk dapat menyimpulkan cara pengajaran mana yang lebih efektif di antara cara-cara yang dinilai tadi.
B. Congruence Model
Model yang kedua ini dapat dipandang sebagai reaksi terhadap model yang pertama, sekalipun dalam beberapa hal masih menunujukan adanya persamaan dengan model yang pertama. Tokoh-tokoh evaluasi yang merupakan pengembangan model ini antara lain adalah Raph W. Tyler, John B. Carroll, and Lee J. Cronbach.
1. Hakikat Evalouasi
Tyler menggambarkan pendidikan sebagai suatu proses, yang didalmnya terdapat tiga hal yang perlu kita bedakan, tujuan pendidikan, pengalaman belajar, dan penilaian terhadap hasil belajar. Hubungan di antara ketiga dimensi diatas dalam proses pendidikandigambarkan dalam diagram dibawah ini:
(a) (c)
Pengalaman Hasil belajar
Belajar
(b)
Garis (a) menunjukan hubungan antara tujuan pendidikan dan pengalaman belajar, garis (b) menunjukan antara pengalaman belajar dan hasil belajar, dan (c) menunjukan hubungan antara tujuan dan hasil belajar.
Dalam diagram diatas, kegiatan evaluasi dinyatakan oleh g aris (c), atau dengan kata lain, evaluasi disini dimaksudkan sebagai kegiatan untuk melihat sejauh mana tujuan-tujuan pendidikan telah dapat dicapai siswa dalam bentuk hasil belajar yang mereka perlihatkan pada akhir kegiatan pendidikan. Ini berarti bahwa evaluasi itu pada dasarnya ingin memperoleh gambaran mengenai efektifitas dari sistem pendidikan yang bersangkutan dalam mencapai tujuannya. Mengingat tujuan-tujuan pendidikan mencerminkan perubahan-perubahan tingkah laku yang diinginkan pada anak didik, maka yang penting dalam proses evaluasi adalah memeriksa sejauh mana perubahan-perubahan tingkah laku yang diinginkan itu telah terjadi pada anak didik.
Di samping untuk kepentingan bimbingan siswa dan perbaikan sistem, evaluasi ini dimaksudkan pula untuk memberikan informasi kepada pihak-pihak di luar pendidikan tentang sejauh mana tujuan-tujuan yang diinginkan it telah dapat dicapai oleh sistem pendidikan yang ada.
Menurut model ini, evaluasi itu tidak lain adalah usaha utuk memeriksa persesuaian (congruence) antara tujuan-tujuan pendidikan yang diinginkan dan hasil belajar yang telah dicapai. Berhubung tujuan-tujuan pendidikan menyangkut perubahan-perubahan tingkah laku yang diinginkan pada diri anak didik, maka evaluasi yang diinginkan itu telah terjadi. Hasil evaluasi yang diperoleh berguna bagi kepentingan, menyempurnakan sistem bimbingan siswa dan untuk memberikan informasi kepada pihak-pihak diluar pendidikan mengenai hasil-hasil yang telah dicapai.
2. Ruang Lingkup
Dalam bukunya yang terkenal: Basic Principle of Curriculum and Instruction, Tyler memberikan ilustrasi tentang dimensi-dimensi tujuan pendidikan dalam suatu unit pelajaran tertentu, seperti yang terlihat dalam bagan dibawah ini:
Aspek isi dari tujuan A. Fungsi Organisme Manusia 1. Nutrisi 2. Pencernaan 3. Peredaran darah 4. Pernapasan 5. Reproduksi, dll | Aspek tingkah laku dari tujuan | |
Memahami fakta-fakta dan prinsip yang penting | Kemampuan menerapkan prinsip | Sikap sosial dan lain-lain |
X X X X X | X X X X X | X X |
Dari bagan diatas, dapat dikemukakan bahwa tingkah laku hasil belajar yang perlu dinilai menurut model ini mencakup aspek pengetahuan, ketrampilan dan nilai/sikap, sejauh aspek-aspek tersebut tercantum didalm rumusan tujuan dari suatu sistem pendidikan.
Sebagai kesimpulan dari bagan ini dapat dikemukakan bahwa objek evaluasi yang dikemukakan dalam model ini adalah tingkah laku siswa, khususnya tingkah laku hasil belajar sebagaimana yang dimaksudkan dalam rumusan tujuan pendidikan. Tingkah laku tersebut mencakup baik aspek pengetahuan maupun aspek ketrampilan dan sikap, sebagai hasil dari proses pendidikan.
3. Pendekatan
Ada dua hal penting yang perlu dikemukakan mengenai pendekatan evaluasi yang dianut oleh model ini:
Pertama, berhubung yang akan dinilai di sini adalah perubahan tingkah laku siswa setelah menempuh suatu kegiatan pendidikan tertentu, perlu adanya evaluasi sebelum dan sesudahnya kegiatan pendidikan berlangsung dilaksanakan. Dengan kata lain, model ini menyarankan digunakannya prosedur pre dan post test untuk menilai hasil atau gains yang dicapai siswa sebagai akibat dari kegiatan pendidikan yang telah diikutinya.
Kedua, model ini tidak menyarankan dilaksanakannya apa yang disebut evaluasi perbandingan untuk melihat sejauh mana kurikulum yang baru lebih efektiv dari kurikulum yang ada. Bahkan lebih jauh dari itu, model ini cenderung tidak menyetujui diadakannya evaluasi perbandingan ini. Karena itulah baik Tyler maupun Cronbach lebih mengarahkan peranan evaluasi pada tujuan untuk memperbaiki kurikulum atau sistem pendidikan.
Akhirnya, mengenai langkah-langkah yang perlu ditempuh di dalam proses evaluasi menurut model ini, Tyler mengajukan 4 langkah pokok yaitu:
a) Merumuskan atau mempertegas tujuan-tujuan pengajaran.
Berhubung evaluasi diadakan untuk memeriksa sejauh mana tujuan-tujuan yang telah dirumuskan itu telah dapat dicapai, perlu masing-masing tujuan itu diperjelas rumusannya sehingga memberikan arah yang lebih tegas di dalam proses perencanaan evaluasi yang akan dilakukan.
b) Menetapkan “test situation” yang diperlukan.
Dalam langkah ini ditetapkan jenis-jenis situasi yang akan memungkinkan para siswa untuk memperlihatkan tingkah laku yang akan di evaluasi tersebut.
c) Menyusun alat evaluasi
Berdasarkan rumusan tujuan dan test situation yang telah ditetapkan dalam langkah-langkah sebelumnya, kini dappat ditetapkan dan disusun alat-alat evaluasi uang cocok untuk digunakandalam menilai jenis-jenis tingkah laku yang tergambar dalam tujuan tersebut diatas.
d) Menggunakan hasil evaluasi
Setelah tes dilaksanakan, hasilnya diolah sedemikian rupa agar dapat memenuhi tujuan diadakannya evaluasi tersebut, baik untuk kepentingan bimbingan siswa maupun untuk perbaikan siswa.[1]
Pendekatan Tyler pada prinsipnya menekankan perlunya suatu tujuan dalam proses proses belajar mengajar. Pendekatan ini merupakan pendekatan sistematis, elegan, akurat, dan secara internal memiliki rasional yang logis. Dibanding dengan model evaluasi lainnya kesederhanaan model Tyler juga merupakan kelebihan tersendiri dan merupakan kekuatan konstruk yang elegan serta mencakup evaluasi kontingensi.
Dalam implemantasinya, model Tyler juga menggunakan unsur pengukuran dengan usaha secara konstan, paralel, dengan inquiri ilmiah dan melengkapi legitimasi untuk mengangkat pemahaman tentang evaluas. Pada model Tyler sangat sangat membedakan antara konsep pengukuran dan pengetahuan evaluasi terpisah dan merupakan proses dimana pengukuran hanya satu dari beberapa kemungkinan salah satu cara dalam mendukung tercapainya evaluasi.[2]
C. Educational System Evaluation Model
Model yang akan dibahas disini merupakan reaksi terhadap kedua model terdahulu yang telah dibahas. G.V. Class dalam tulisannya yang berjudul Two Generations of Evaluation Models menyebut model ketiga ini sebagai Educational System Evaluation Model karena ketiga ruang lingkupnya yang jauh lebih luas dari kedua model yang terdahulu. Tokoh-tokoh evaluasi yang dipandang sebagai pengembang dari model yang ketiga ini antara lain adalah Daniel. L. Stufflebearn, Michael Schriven, Robert E. Stake dan Malcolm M. Provus.
1. Hakikat Evaluasi
Evaluasi, menurut model ini dimaksudkan untuk membandingkan performance dari berbagai dimensi sistem yang sedang dikembangkan dengan sejumlah kriteria tertentu, untuk akhirnya sampai pada suatu deskripsi dan jidgement mengenai sistem yang dinilaitersebut.
Ada empat hal yang perlu dikemukakan mengenai pandangan model yang ketiga ini tentang evaluasi:
Pertama evaluasi itu ditujukan kepada berbagai dimensi dari sistem yang dikembangkan, tidak hanya dimensi hasilnya saja.
Kedua, proses evaluasi itu mencakup perbandingan antara performance dan kriteria, baik kriteria yang sifatnya mutlak maupun relatif.
Ketiga, evaluasi tidak hanya berakhir dengan suatu deskripsi mengenai keadaan sistem yang bersangkutan tetapi juga menuntut adanya judgment sebagai kesimpulan dari hasil evaluasi.
Keempat, hasil evaluasi digunakan sebagai bahan atau input bagi pengambilan keputusan dalam rangka penyempurnaan sistem maupun penyimpulan mengenai kebagian sistem yang bersangkutan secara keseluruhan.
2. Ruang Lingkup
Sesuai dengan pandangan yang perrtama di atas dimensi dari sistem pendidikan yang dijadikan objek evaluasi di dalam model yang ketiga ini lebih luas yaitu mencakup dimensi perealatan/sarana proses dan hasil atau produk yang diperlihatkan oleh sistem yang bersangkutan.
Stake membagi objek evaluasi atas tiga kategori yaitu:
1) Dengan antecedents dimaksudkan adalah sumber/model/input yang ada pada saat sistem itu dikembangkan, seperti tenaga, keuangan, karakteristik siswa, dan tujan yang ingin dicapai.
2) Dimensi yang disebut transaction mencakup rencana kegiatan maupun proses pelaksanaannya di lapangan, termasuk kedalamnya ukuran kegiata, penjadwalan waktu, bentuk interaksi antara guru dan murid, cara menilai hasil belajar di kelas, dan sebagainya.
3) Dengan outcomes disini dimaksudkan antara lain adalah hasil yang dicapai para siswa, reaksi guru terhadap sistem tersebut.[3]
Stufflebearn, dalam bukunya Educational Evaluation and Decision Making, menggolongkan sistem pendidikan ada 4 dimensi yaitu:
1) Context: Situasi atau latar belakang yang mempengaruhi jenis-jenis tujuan dan strategi pendidikan yang akan dikembangkan dalam program yang bersangkutan, seperti : kebijakan departemen atau unit kerja yang bersangkutan, sasaran yang ingin dicapai oleh unit kerja dalam kurun waktu tertentu, masalah ketenagaan yang dihadapi dalam unit kerja yang bersangkutan, dan sebagainya.
2) Input: Bahan, peralatan, fasilitas yang disiapkan untuk keperluan pendidikan, seperti : dokumen kurikulum, dan materi pembelajaran yang dikembangkan, staf pengajar, sarana dan pra sarana, media pendidikan yang digunakan dan sebagainya.
3) Process: Pelaksanaan nyata dari program pendidikan tersebut, meliputi: pelaksanaan proses belajar mengajar, pelaksanaan evaluasi yang dilakukan oleh para pengajar, penglolaan program, dan lain-lain.
4) Product: Keseluruhan hasil yang dicapai oleh program pendidikan, mencakup jangka pendek dan jangka lebih panjang.[4]
Dalam membahas tahap-tahap evaluasi yang perlu ditempuh, Provus mengemukakan 4 dimensi yang perlu dinilai dalam proses pengembangan sistem pendidikan, yaitu:
a. Design, disini dapat dihubungkan dengan rencana/sarana.
b. Operation program dapat diartikan sebagai proses pelaksanaan.
c. Interim products hasil belajar jangka pendek. dan
d. Terminal products hasil belajar dalam waktu yang lebih panjang.
Dengan demikian objek evaluasi yang diajukan oleh Provus disini mencakup pula dimensi sarana/rencana proses, dan hasil yang dicapai.
Sehubungan dengan ruang lingkup objek evaluasi pada model ini, jenis-jenis data yang dikumpulkan dalam kegiatan evaluasi menurut model ini mencakup baik data-data objektif (skor hasil tes) maupun data-data subjektif atau judgmental data (pandangan guru-guru, reaksi para siswa, dan sebagainya).
Menurut model ini, kenyataan bahwa judgment itu memandang unsur-unsur subjektif tidak mengurangi pentingnya hal tersebut dalam proses evaluasi. Yang perlu dilakukan adalah mengembangkan cara yang akan memungkinkan unsur-unsur subjektif dalam judgment tersebut dapat ditekankan sampai seminimal mungkin.
3. Pendekatan
Ada dua pendekatan utama yang diajukan oleh model ini dalam pelaksanaan evaluasi:
1) Perbandingan berdasarkan kriteria intern
Pendekatan yang pertama ini ditempuh pada saat sistem masih berada pada fase pengembangan dan masih mengalami perbaikan-perbaikan. Untuk setiap dimensi sistem (input, proses, hasil) dilakukan evaluasi berdasarkan kriteria yang ada:
a) Rencana dinilai berdasrkan kriteria rencana yang baik.
b) Proses (pelaksanaan) dievaluasi dari kesesuaiannya dengan rencana yang ada; rencana kegiatan disini berlaku sebagai kriteria.
c) Hasil yang dicapai dinilai dari kesesuaiannya dengan tjuan yang ingin dicapai; tujuan di sini berlaku sebagai kriteria.
Secara lebih luas dan lebih tuntas Stake melukiskan pendekatan yang pertama ini dengan menggunakan dua cara evaluasi, yaitu: pertama menetapkan contingencies antara antecedents, transactions dan outcomes yang dimaksud disini adalah hubungan logis antara ketiga dimensi sistem, khususnya antara tujuan, strategi dan hasil, baik yang tercantum dalam rencana (di atas kertas) maupun yang terjadi di lapangan. Kemudian yang kedua menetapkan congruence antara apa yang diharapkan (kriteria) dan apa yang terjadi (performance). Congruence, dimaksudkan adalah kesesuaian antara yang diharapkan (kriteria) dan yang terjadi/dihasilkan, sebagaimana diuraikan dalam pokok (1) (2) (3) di atas.
2) Perbandingan berdasrkan kriteria ekstern
Pendekatan yang kedua ini ditempuh pada saat sistem sudah berada dalam keadaan “siap” setelah mengalami perbaikan-perbaikan selama fase pengembangan.
Scriven sebagai salah seorang tokoh dari model ketiga ini, sangat menekankan pentingnya evaluasi yang menyeluruh dari sistem tersebut pada akhir fase pengembangannya termasuk evaluasi terhadap tujuan yang ingin dicapainya. Untuk mengetahui apakah sistem yang baru tersebut memang baik, salah satu caranya adalah dengan membandingkan sistem tersebut dengan sistem yang lain, perbandingan yang akan dilakukan disini didasrkan atas kriteria di luar sistem yang berlaku sekarang. Dengan kata lain, perbandingan yang akan dilakaukan di sini didasrkan atas kriteria di luar sistem yang baru tersebut, kriteria ini sifatnya relatif.
Untuk melaksanakan kedua pendekatan diatas diperlukan berbagai cara evaluasi di samping tes hasil belajar, yaitu observasi, angket, wawancara dan juga content analysis, mengingat data yang dikumpulkan di sini mencakup baik data objektif maupun data subjektif atau judgmental data.
D. Illuminative Model
Sebagaimana halnya model yang ketiga, model yang keempat ini pun dikembangkan sebagai reaksi terhadap dua model evaluasi yang pertama, yaitu measurement dan congrruence. Penggunaan nama Illuminative Model oleh pengembangannya didasarkan atas alasan bahwa penggunaan berbagai cara penilaian di dalam model ini bila dikombinasikan akan “help illuminative problem, issues, and significan program features”. Model ini dikembangkan terutama di Inggris dan banyak dikait dengan pendekatan dalam bidang antropologi. Salah seorang tokoh yang paling menonjol dalam usahanya mengembangkan model ini adalah Malcolm Parlett.
1. Hakikat evaluasi
Tujuan evaluasi menurut model yang keempat ini adalah mengadakan studi yang cermat terhadap sistem yang bersangkutan : bagaimana pelaksanaan sistem tersebut di lapangan, bagaimana pelaksanaan itu dipengaruhi oleh situasi sekolah tempat yang bersangutan dikembangkan, apa kebaikan-kebaikan dan kelemahan-kelemahan dan bagaimana sistem tersebut mempengaruhi pengalaman-pengalaman belajar para siswa. Hasil evaluasi yang dilaporkan lebih bersifat deskripsi dan interpretasi, bukan pengukuran dan prediksi. Oleh karena itu dalam pelaksanaan evaluasi, model yang keempat ini lebih banyak menekankan pada penggunaan judgment. Atau dengan kata lain, dalam mengadakan evaluasi, model ini berpegang pada semboyan bahwa the judgment is the evaliation.
Akhirnya, model ini juga memandang fungsi evaluasi sebagai bahan atauu input untuk kepentingan pengambialan keputusan dalam rangka penyesuaian-penyesuaian dan penyempurnaan sistem sedang dikembangkan.
2. Ruang lungkup
Objek evaluasi yang diajukan oleh model ini mencangkup :
a) Latar belakang dan perkembangan yang dialami oleh sistem yang bersangkutan.
b) Proses pelaksanaan sistem itu sendiri.
c) Hasil belajar yang diperlihatkan oleh para siswa
d) Kesukaran-kesukaran yang dialami dari perencanaan sampai dengan pelaksanaan di lapangan.
Dengan kata lain, objek evaluasi dari model ini mencangkup baik kurikulum yang “terlihaat” maupun kurikulum yang “tersembunyi”. Menurut model ini, kedua jenis kurikulum diatas sama pentingnya karena keduanya mempunyai pengaruh di dalam, dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan.
3. Pendekatan
Cara-cara yang digunanakan dalam pendekatan ini tidak bersifat standar melainkan lebih bersifat fleksibel dan selektif. Pengembangan model ini beranggapan bahwa “the problem definis the methode used, not vice versa”. Berhubung situasi yang akan diniali bersifat “terbuka” tidak mungkin di gunakan suatu cara yang standar. Ini berarti bahwa model ini yang digunakan dalam evaluasi hendaknya model yang sifatnya responsif terhadap segala perkembangan yang sialami program-program proses evaluasi berlangsung.
Sehubungan dengan pendekatan evaluasi dengan tujuan dan pendekatan evaluasi yang dianut oleh model ini, ada tiga fase kegiatan evaluasi yang diajukan secara berturut-turut yaitu:
Tahap 1 : observe
Dalam tahap ini penilaian mengunjungi sekolah tempat suatu sistem sedang dikembangkan. Dalam kesempatan ini pengevaluasi akan mendengarkan dan melihat berbagai peristiwa, persoalan serta reaksi dari guru maupun siswaterhadap pelaksanaan sistem tersebut. Kunjungan dalam tahap ini dapat dipandang sebagai orientasi untuk lebih mengenal sistem yang bersangkutan dari dekat, sehingga di samping pengamatan, wawancara serta informal dengan guru-guru maupun para siswa.
Tahap 2 : inquiry further
Dalam tahap kedua ini, berbagai persoalan yang terlihat atau terdengar dalam tahap pertama kini diseleksi untuk mendapatkan perhatian dan penelitian lebih lanjut. Mengingat dalam tahap pertama pengevaluasi sudah memperoleh pengetahuan yang cukup memadai mengenai sistem yang bersangkutan, pertanyaan-pertanyaan mengenai persoalan-persoalan tertentu kepada para guru dan siswa, kini dapat lebih intensif dan terarah. Dengan kata lain studi terhadap berbagai persoalan yang telah diseleksi tersebut menjadi lebih sistematik dan terarah, tapi belum sampai pada evaluasi tentang sebab-sebab dari masing-masing persoalan.
Tahap 3 : seek to explain
Dalam tahap ketiga, penilai mulai meneliti sebab-akibat dari masing-masing persoalan. Disini mulai digali faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya persoalan-persoalan tadi. Dalam hubungan ini data-data yang diperoleh secara terpisah-pisah tadi mulai disusun dan dihubungakn dalam kesatuan situasi yang terdapat pada sekolah yang bersangkutan. Pada tahap inilah mulai dilakukan interpretasi terhadap data yang diperoleh dan data-data tersebut telah disusun serta dihubungakn dengan berbagai data yang lain. Informasi inilah kemudian yang dijadikan sebagai bahan atau input dalam rangka pengambilan keputusana untuk mengadakn perbaikan-perbaikan ataupun penyesuaian-penyesuaian yang diperlukan.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pendekatan yang ditempuh model ini dalam melaksanakan evaluasi lebih bersifat terbuka atau open-ended dan dalam melaporkan hasil evaluasi lebih banyak digunakan cara deskriptif dalam penyajian informasinya.[5]
BAB III
PENUTUP
Dalam pembahasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa model evaluasi
[1] Drs. H. Daryanto, Evaluasi Pendidikan, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1999, hal. 72-83
[3] Drs. H. Daryanto, op .cit. hlm. 88
[4] http://algaer.wordpress.com/2010/05/10/evaluasi-dalam-pendidikan-islam/
[5] Drs. H. Daryanto, op .cit. hlm. 96-99
Ditulis Oleh : Unknown ~ Komunitas Blogger Pekalongan
Sobat sedang membaca artikel tentang MODEL EVALUASI. Karena Adminnya Baik hati dan tidak sombong, Sobat diperbolehkan mengcopy paste atau menyebar-luaskan artikel ini, namun jangan lupa untuk meletakkan link dibawah ini sebagai sumbernya