MEMBANGUN SISTEM PENDIDIKAN DEMOKRATIS
Mulyadi
Abstract.
The paradigm of education in the future is democracy. The system of education, which is democratic will
result the alumnus that have influence in the social life and can be involved in making public decisions. However, the reality is not as expected. The system of education, which apply now is education dominated by system of delivering information not processing information. Beside that, the relation between teacher and student is not based on togetherness but domination; the teacher dominates students.
Therefore, to develop the democratic education, it is a must to do reformation and reorientation to the system of education. It involves, at least, four aspects: 1. Change the management of education from centralistic to decentralization, 2. Change the curriculum of education from theoretic oriented to problem oriented; how the teacher deliver subject of teaching from the real problem faced by students with constructivist approach. 3. Considering students as subject, not only as object. 4. Teacher does not dominate, but plays as facilitator and motivator (Tut wuri handayani).
Keywords: Education and democracy.
Paradigma pendidikan di masa depan adalah pendidikan yang demokratis dan pendidikan yang demokratis hanya dapat diwujudkan dalam masyarakat, bangsa dan negara yang juga demokratis. Demokrasi, termasuk demokrasi pendidikan, memang tidak menyembuhkan berbagai penyakit pembangunan, termasuk untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu, tetapi demokrasi memberikan peluang terbaik bagi terlaksananya keadilan dan terhormatinya harkat dan martabat kemanusiaan. Pendidikan yang demokratis akan menghasilkan lulusan yang mampu berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat dan mampu mempengaruhi pengambilan keputusan kebijakan publik.
Sampai saat ini, pendidikan yang demokratis masih merupakan cita-cita yang belum terwujud. Dalam undang-undang sistem pendidikan nasional nomor 20 tahun 2003 bab III pasal 4 ayat 1 dijelaskan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa.[1] Namun dalam kenyataan masih terdapat fenomena pendidikan yang tidak demokratis, misalnya fenomena kurang memadainya kualitas proses dan produk pendidikan. Gambaran pendidikan saat ini dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) Proses pendidikan didominasi oleh penyampaian informasi bukan pemrosesan informasi. (2) Proses pendidikan masih berpusat pada kegiatan mendengarkan dan menghafalkan, bukan interpretasi dan makna terhadap apa yang dipelajari dan upaya membangun pengetahuan. (3) Proses pendidikan masih didominasi oleh guru/dosen yang otoriter.[2] (4) Selama ini siswa ditempatkan sebagai objek, belum menempati kedudukannya sebagai subyek, sehingga kurang ada peluang bagi siswa/mahasiswa untuk berkreasi, memberi kesempatan untuk mengembangkan dan menunjukkan kemampuan yang beragam. [3]
Artinya, anak didik mendapat peluang yang sama dalam menerima kesempatan dan perlakuan pendidikan. Guru memberikan kesempatan yang sama kepada setiap individu untuk mengikuti setiap kegiatan pendidikan.
Bertitik tolak dari latar belakang masalah tersebut, tulisan ini membahas empat permasalahan, yaitu: (1) konsep demokrasi dari perspektif pendidikan, (2) hubungan antara pendidikan dan demokrasi, (3) cara mewujudkan demokrasi melalui pendidikan? (4) upaya membangun sistem pendidikan yang demokratis.
Demokrasi dalam Perspektif Pendidikan.
Demokrasi, secara etimologi, berasal dari bahasa Latin, dari akar kata demos yang berarti rakyat dan cratos yang berarti kekuasaan, sehingga secara sederhana demokrasi dapat diartikan sebagai kedaulatan ditangan rakyat. Secara terminologi, sebagaimana disampaikan Sparingga, demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat dimana kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dan dijalankan langsung oleh mereka atau wakil-wakilnya yang dipilih lewat pemilihan bebas. Prinsip utama demokrasi adalah (a) kedaulatan di tangan rakyat, (b) pemerintahan berdasarkan persetujuan dari mereka yang diperintah, (c) kekuasaan mayoritas, (d) hak-hak minoritas, (e) jaminan hak-hak azasi manusia, (f) pemilihan yang bebas dan jujur, (g) persamaan di depan hokum, (h) proses hukum yang wajar, (i) pembatasan pemerintahan secara konstitusional, (j) pluralisme dalam aspek sosial ekonomi dan politik, (k) nilai-nilai toleransi, pragmatisme, kerjasama dan mufakat.[4]
Bagaimana konsep demokrasi dalam perspektif pendidikan? Demokrasi pada dasarnya mengakui setiap warga negara sebagai pribadi yang unik, berbeda satu sama lain dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Demokrasi memberikan kesempatan yang luas bagi pelaksanaan dan pengembangan potensi masing-masing individu tersebut, baik secara fisik maupun mental spiritual. Demokrasi juga mengakui bahwa setiap individu mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Karena itu, pendidikan yang demokratis adalah pendidikan yang menempatkan peserta didik sebagai individu yng unik berbeda satu sama lain dan mempunyai potensi yang perlu diwujudkan dan dikembangkan semaksimal mungkin. Untuk itu pendidikan yang demokratis harus memberikan treatmen berbeda kepada sasaran didik yang berbeda sesuai dengan karakteristik masing-masing. Pendidikan yang demokratis juga menuntut partisipasi aktif peserta didik bersama guru dalam merencanakan, mengembangkan dan melaksanakan proses belajar-mengajar. Partisipasi orang tua dan masyarakat juga amat penting dalam merancang, mengembangkan dan melaksanakan proses pendidikan tersebut.
Demokrasi, dalam lingkup pendidikan, adalah pengakuan terhadap individu peserta didik, sesuai dengan harkat dan martabat peserta didik itu sendiri, karena demokrasi adalah alami dan manusiawi.[5]Ini berarti bahwa penelitian pihak-pihak yang terlibat dalam proses pendidikan harus mengakui dan menghargai kemampuan dan karakteristik individu peserta didik. Tidak ada unsur paksaan atau mencetak siswa yang tidak sesuai dengan harkatnya.[6]
Dengan demikian, demokrasi berarti perilaku saling menghargai, saling menghormati, toleransi terhadap pihak lain termasuk pengendalian diri dan tidak egois. Dalam proses pendidikan, semua pihak yang terkait menyadari akan alam atau atmosfir yang bernuansa saling menghargai tersebut, yaitu antara guru dengan guru, antara guru dengan siswa dan antara guru dengan pihak-pihak anggota masyarakat termasuk orang tua dan lain-lain. Ini berarti bahwa dalam semangat demokrasi seorang harus tunduk kepada keputusan bersama atau kesepakatan bersama. Tidak terjadi keharusan penerimaan tanpa unsur paksaan, tetapi kesepakatan bersama yang akan menjadi sikap mereka semua. Dengan kata lain, seseorang menerima keputusan bersama dengan rasa ikhlas karena menomerduakan kepentingan pribadi dan tunduk kepada tuntutan kesejahteraan umum[7].
Demokrasi dalam pendidikan dan pembelajaran menggunakan pengertian equal opportunity for all.[8]
Hubungan Pendidikan dan Demokrasi.
Dalam kaitan antara pendidikan dan demokrasi terdapat dua pendapat yang saling bertentangan.[9] Pertama, muncul di lingkungan penganut paham demokrasi liberal yang menentang sekolah dijadikan sebagai instrumen sosialisasi politik yang menguntungkan penguasa. Sebab, pendidikan akan menghasilkan lulusan yang tidak memiliki kemandirian dan cenderung menjadi robot. Menurut kelompok ini pendidikan harus ditempatkan sebagai instrumen untuk mengembangkan watak demokratis, meningkatkan daya kritis, mendorong semangat untuk mengejar pengetahuan dan senantiasa menjunjung harkat dan martabat manusia. Kedua, menyatakan bahwa pendidikan merupakan suatu instrumen untuk mengembangkan kesadaran, sikap dan perilaku politik dengan harapan siswa menjadi warga masyarakat yang baik. Dalam pandangan ini pendidikan sebagai alat sosialisasi politik merupakan kenyataan yang tidak perlu dipungkiri lagi. Dewasa ini tidak ada satupun negara yang tidak menggunakan pendidikan sebagai instrumen sosialisasi politik, bahkan di Barat (AS) sekalipun yang dianggap sebagai pendekar Demokrasi dan HAM. Mereka tetap menjadikan pendidikan sebagai alat indoktrinasi politik. Dalam buku-buku teks Civics selalu ditekankan bahwa sistem kapitalitas paling baik dan sistem lain jelek. Demikian juga dalam setiap buku diuraikan bahwa kehidupan negara-negara sedang berkembang masih sangat terbelakang.
Demokrasi dan pendidikan, sesungguhnya, saling berkaitan satu sama lain dan mempunyai bubungan timbal balik. Misalnya: pendidikan jika dimaknai suatu proses bantuan untuk mengembangkan seluruh potensi peserta didik, maka pendidikan harus dilaksanakan secara demokratis (sering disebut dengan istilah demokrasi pendidikan). Pendidikan yang demokratis mempunyai ciri adanya suasana belajar yang berkemampuan optimal menumbuhkan potensi peserta didik untuk tujuan tertentu.[10] Begitu juga sebaliknya, agar nilai-nilai demokrasi (hak-hak asasi), kebebasan, keadilan, persamaan dan keterbukaan) dapat dipahami dan memiliki peserta didik, maka perlu pendidikan.[11] Pendidikan tersebut berfungsi menanamkan nilai-nilai demokrasi kepada peserta didik (pendidikan demokrasi atau pendidikan tentang demokrasi).
Mewujudkan Demokrasi Lewat Pendidikan.
Pendidikan mempunyai cakupan luas, jalur sekolah, luar sekolah dan keluarga. Pendidikan sekolah sendiri terdiri atas jenjang pendidikan dasar, menengah dan pendidikan tinggi. Untuk mewujudkan demokrasi dalam dan lewat sekolah, menurut John Dewey, sekolah harus menjalankan tiga fungsi berikut, (1) sekolah harus memberikan lingkungan yang disederhanakan dari kebudayaan kompleks yang ada, yaitu dipilih dari segi fundamental yang dapat diserap oleh remaja, (2) sekolah sejauh mungkin mengeliminasi segi-segi yang tidak baik dari lingkungan yang ada, meniadakan hal-hal yang remeh dan tak berguna dari masa lampau dan memilih yang terbaik dan memungkinkan anak-anak menjadi warga negara yang lebih baik dan membentuk masyarakat masa depan yang lebih maju dan sejahtera, (3) sekolah hendaknya menyeimbangkan berbagai unsur dalam lingkungan sosial serta mengusahakan agar masing-masing individu mendapat kesempatan untuk melepaskan dirinya dari keterbatasan-keterbatasan kelompok sosial dimana dia lahir. [12]
Konsep tersebut sesuai dengan paradigma pendidikan sistematik organik yang menyatakan bahwa proses pendidikan formal sistem persekolahan harus memiliki empat ciri sebagai berikut: (1) Pendidikan lebih menekankan pada proses pembelajaran daripada mengajar, (2) Pendidikan diorganisir dalam struktur yang fleksibel, (3) Pendidikan memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki karakteristik khusus dan mandiri dan (4) Pendidikan merupakan proses yang berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi dengan lingkungan.[13]
Dengan demikian, perwujudan sekolah yang mensosialisakan paham dan sikap demokratis, seperti ditulis Zamroni, dapat dikaji berdasar empat aspek: (1) aspek status siswa, berorientasi pada pendidikan modern yang mempunyai asumsi bahwa pendidikan berlangsung dari lahir sampai mati. Artinya, sekolah adalah kehidupan itu sendiri dan sebaliknya kehidupan itu adalah sekolah atau pendidikan. Karena itu, sekolah merupakan kehidupan riel siswa itu sendiri bukan tempat mempersiapkan siswa bagi kehidupan mendatang. Hal ini sesuai dengan pendapat John Dewey sebagaimana dikutip Zamroni, school is not preparation for life but life itself (sekolah bukan bekal untuk hidup tetapi kehidupan itu sendiri).[14] Implikasi dari orientasi ini adalah anak didik merupakan subyek dalam proses pendidikan. Kehidupan sosial siswa merupakan sumber transformasi kehidupan. Peran penting dalam proses pendidikan bukan terletak pada mata pelajaran yang diberikan, melainkan terletak pada aktivitas sosial siswa sendiri. Orientasi pendidikan modern ini memberikan penekanan dan tempat berkembangnya kreativitas, kemandirian, toleransi dan tanggung jawab siswa. (2) aspek fungsi guru: yaitu bahwa guru sebagai fasilitator dan motivator. Fungsi guru ini akan muncul jika siswa berstatus sebagai subyek dalam proses pendidikan, karena sebagai fasilitator dan motivator guru akan lebih banyak bersifat tut wuri handayani dengan memberikan dorongan dan motivasi agar siswa dapat memperluas kemampuan pandang untuk mengembangkan berbagai alternatif dalam aktivitas kehidupan dan memperkuat kemauan untuk mendalami serta mengembangkan apa yang telah dipelajari dalam proses pendidikan. (3) Dimensi Materi Pendidikan: yaitu materi pendidikan bersifat problem oriented, guru menyampaikan bahan pengajaran berangkat dari problem riel yang dihadapi siswa dan lingkungan masyarakatnya.[15] Dengan demikian materi yang bersifat teoritis akan dihubungkan dengan realitas kehidupan siswa. Guru dituntut berperan aktif, kreatif dan berani membawa isue-isue kontroversial ke dalam proses belajar mengajar. Adapun para siswa mendapat kesempatan untuk mendiskusikan isue-isue yang sensitif tersebut. (4) Dimensi Manajemen Pendidikan: yaitu manajemen yang bersifat desentralisasi yaitu kebijakan pendidikan lebih banyak ditentukan pada level daerah, level sekolah dan level kelas. Dengan desentralisasi ini kreativitas dan daya inovatif guru sangat diperlukan. Dimensi manajemen yang bersifat desentralisasi diterapkan apabila dimensi siswa sebagai subyek pendidikan, fungsi guru sebagai dinamisator dan fasilitator dan materi pengajaran bersifat problem oriented.
Orientasi pendidikan dengan keempat aspek yang dikemukakan Zamroni tersebut akan mewujudkan praktek pendidikan yang demokratis dan akan menghasilkan lulusan individu yang demokratis, kreatif, tolerans dan mandiri. Ciri-ciri lulusan semacam ini akan sangat berperan mewujudkan masyarakat demokratis.
Membangun Sistem Pendidikan Demokratis.
Impian pendidikan berkualitas hanya dapat diwujudkan dalam alam demokrasi pendidikan dan demokrasi pendidikan hanya dapat diwujudkan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis. Namun, kenyatannya kehidupan yang demokratis masih lebih merupakan keinginan daripada kenyataan[16].
Konsep sistem pendidikan yang demokratis terkait dengan bagaimana pendidikan tersebut disiapkan, dirancang dan dikembangkan sehingga memungkinkan terwujudnya ciri-ciri atau nilai-niklai demokrasi. Ini juga bersifat umum dalam arti mengemas sistem pendidikan dengan seluruh komponen, yaitu kurikulum, materi pendidikan, sarana prasarana, lingkungan siswa, guru dan tenaga pendidikan lainnya, proses pendidikan dan lainnya. Bisa juga bersifat khusus yaitu pengemasan komponen-komponen tertentu dari sistem pendidikan tersebut mislanya bagaimana kurikulum atau bahan pelajaran atau proses belajar mengajar dirancang sedemikian rupa sehingga mencerminkan dan memungkinkan terbentuknya nilai-nilai demokrasi.[17]
Dalam mengembangkan sistem pendidikan yang demokratis di Indonesia, perlu memperhatikan tujuh butir yang merupakan prinsip-prinsip dalam prosedur-prosedur yang demokratis dan mencerminkan pandangan serta jalan hidup demokratis yang diinginkan. Tujuh butir tersebut: (1) mengutamakan kepentingan masyarakat, (2) tidak memaksakan kehendak kepada orang lain, (3) mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama, (4) musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi semangat kekeluargaan, (5) memiliki i'tikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah, (6) musyawarah yang dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur, (7) keputusan yang diambil harus dapat dipertanggung-jawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan.[18]
Sistem pendidikan yang demokratis tersbeut perlu diperjelas secara makro di tingkat nasional yang berlaku untuk seluruh Indonesia atau tingkat mikro di lingkungan sekolah atau kelas. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam membangun sistem pendidikan yang demokratis sebagaimana yang dinyatakan Sadiman, sebagai berikut:[19]
1. Kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga dapat memberikan ruang gerak bagi sekolah/daerah tertentu untuk menyesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan setempat tanpa harus kehilangan orientasi nasional dan global. Kurikulum juga harus menggariskan adanya mata pelajaran-mata pelajaran yang menggiring suasana demokratis dalam proses belajar mengajar dan pada gilirannya dapat menanamkan nilai-nilai demokratis pada diri anak didik.
2. Tidak ada keharusan bagi sekolah atau lembaga pendidikan untuk menggunakan bahan belajar tertentu. Idealnya diberi kebebasan memilih sendiri bahan belajar (buku dan media) yang mereka nilai baik. Bahan belajar sendiri juga harus dikemas dengan mengakui bahwa setiap siswa berbeda satu sama lain dengan kelebihan dan kekurangannya memungkinkan adanya interaksi aktif dan menempatkan sasaran didik sebagai subyek bukan obyek pendidikan.
3. Sarana prasarana pendidikan pun harus menunjang terwujudnya nilai-nilai demokrasi dalam praktek pendidikan atau belajar mengajara sehari-hari. Misalnya: ruang kelas dengan meja kursi bangku tidak kaku tetapi memiliki fleksibilitas yang tinggi, perpustakaan memiliki koleksi warna-warni yang tidak saja memotivasi siswa untuk mengunjungi dan membaca tetapi juga memberikan alternatif pilihan sumber belajar. Perpustakaan, baik perpustakaan kelas maupun perpustakaan sekolah hendaknya menjadi bagian yang menyatu dengan proses belajar mengajar di kelas. Sebagai individu anak hendaknya memiliki berbagai kebutuhan, maka sekolah atau lembaga pendidkan haruslah mampu memberikan lingkungan belajar yang bisa memenuhi kebutuhan biologis (makanan, minuman, rasa aman dan tempat istirahat), kebutuhan psikologis dan kebutuhan sosial (komunikasi dan interaksi dengan sesama manusia).
4. Sebagai komponen sistem pendidikan, guru harus bersikap demokratis. Guru harus mampu menerima perbedaan, menghargai pendapat siswa tidak memaksakan kehendak, merasa paling tahu dan menciptakan suasana belajar yang demokratis. Peran guru bukan sebagai satu-satunya sumber belajar karena telah/makin banyak sumber belajar lain di sekitar kehidupan anak.
5. Proses pendidikan atau belajar mengajar hendaknya mencerminkan nilai-nilai demokrasi.
Berkaitan dengan konsep kelima, Arief S. Sadiman menjelaskan bahwa proses pembelajaran yang mencerminkan nilai-nilai demokrasi adalah sebagai berikut:[20]
(a) Menempatkan anak didik sebagai individu yang unik. Mereka memiliki minat, bakat, efisiensi alat indra, kecerdasan, cara merespon pelajaran yang diberikan, ketrampilan dan sikap berbeda satu sama lain sehingga perlu diberikan treatmen yang berbeda. Proses pendidikan hendaknya mampu menciptakan konsep diri yang positif pada anak didik. Masing-masing anak harus merasa sanggup, aman dan menemukan tempatnya masing-masing di dalam masyarakat sekolah. Tidak ada anak yang unknown semua baik yang pandai maupun yang lemah semua mendapat perhatian.
(b) Pembelajaran hendaknya bersifat individual dalam arti tiap siswa mendapatkan cara penanganan sesuai dengan karakter masing-masing. Apabila hal ini masih sulit dilakukan maka bisa ditempuh cara pengelompokan siswa berdasarkan prestasi “acheivement grouping”. Kelompok ini bersifat dinamis sesuai dengan perkembangan masing-masing individu. Strategi ini dimaksudkan memberi kesempatan pada anak untuk meningkatkan diri sejalan dengan kecepatan belajarnya.
(c) Sebagai konsekuensi dari pembelajaran individual tersebut perlu diterapkan sistem maju berkelanjutan “continuous progress”. Pelaksanaan sistem ini memungkinkan siswa menyelesaikan pendidikan lebih cepat, lebih lambat atau tepat pada waktunya. Sistem maju berkelanjutan membuka peluang secara luas bagi perkembangan pribadi anak karena anak dapat maju tanpa hambatan, kelas atau tingkatan tidak lagi merupakan barrier untuk terus maju. Sistem ini tidak saja akan menguntungkan anak, akan tetapi juga bisa menjadi pemicu peningkatan atau percepatan-achievement.
(d) Demokrasi menghargai kebebasan individu untuk mengekspresikan diri namun tetap menghargai norma dan etika. Proses pendidikan di sekolah bisa mewujudkan hal ini dengan sengaja dan memberikan paling tidak satu jam belajar bebas “independent study” setiap minggunya. Dalam pelajaran ini anak belajar bertanggungjawab atas kebebasan yang diberikan. Dengan menggunakan perpustakaan dan sumber belajar lain, anak belajar mengarahkan diri, menolong diri, disiplin dan mengontrol diri. Dengan mencari kesibukan yang sesuai dengan kebutuhan dan tahap perkembangan masing-masing anak berusaha memenuhi kebutuhan. Pelajaran ini juga melatih siswa menghargai waktu, mengembangkan kemampuan anak untuk mengarahkan diri (self direction), mendisiplinkan diri (self discipline), menguasai diri (self control), menolong diri sendiri (self help), mengandalkan diri (self reliance) dan menyibukkan diri (self activity).
(e) Untuk menetralisir tumbuhnya sikap individualistis perlu disiapkan pelajaran kelompok. Proses belajar dalam kelompok ini tidak saja membina sikap toleransi anak tetapi juga memberi kesempatan untuk mengadakan interaksi sosial, belajar bahwa masih ada orang di luar diri sendiri, bersikap terbuka terhadap perubahan dan saling membantu.
(f) Proses belajar mengajar harus memberi kesempatan anak didik untuk mengekspresikan dirinya baik lesan maupun tertulis. Untuk metodologi pembelajaran yang dipilih harus memungkinkan hal tersebut. Misalnya: diskusi, seminar, observasi, eksperimen perorangan maupun kelompok dan sebagainya. Pelajaran mengarang yang sementara ini diabaikan karena berat dalam mengoreksi justru harus ditingkatkan dan diperhatikan. Tata krama secara lesan dan tertulis harus dipelajari anak. Dalam kaitan ini terasa penting perpustakaan yang terpadu dengan proses belajar mengajar di kelas.
(g) Peran serta aktif anak didik tidak saja digalang dalam proses belajar mengajar di sekolah maupun di rumah, tetapi juga menetapkan tata tertib atau aturan yang harus ditaati sendiri. Juga dalam kegiatan seperti mengelola majalah sekolah. Ini jelas merupakan cerminan hidup demokratis.
(h) Grafik prestasi kelas dan grafik prestasi pribadi yang dipasang di kelas menunjukkan posisi masing-masing anak dalam mata pelajaran tertentu. Keterbukaan ini mengajarkan pada anak kejujuran untuk mengakui kelemahan atau kekurangan diri dan kekurangan atau kelebihan orang lain sekaligus memotivasi anak untuk meningkatkan diri dan motivasi berprestasi.
(i) Evaluasi dalam pendidikan yang demokratis tidak hanya menilai prestasi siswa tetapi juga menilai kinerja para guru/pendidik dan sistem secara keseluruhan. Guru hendaknya berjiwa besar atau berlapang dada untuk menerima penilaian dari siswa dengan tujuan meningkatkan mutu pendidikan di lembaga tersebut.
Kesimpulan.
1. Makna demokrasi dalam pendidikan mengandung unsur kemandirian, kebebasan dan tanggung jawab. Kemandirian untuk mengembangkan kepercayaan diri sekaligus kesadaran akan keterbatasan kemampuan individu sehingga bekerja sama dengan individu lain merupakan keharusan dalam kehidupan masyarakat. Kebebasan memiliki makna perlu dikembangkan visi kehidupan yang bertumpu pada kesadaran akan pluralitas masyarakat, bukan hanya mementingkan invidu atau kelompok dan menimbulkan konflik. karena itu kebebasan harus diiringi dengan rasa tanggung jawab.
2. Demokrasi dan pendidikan merupakan dua istilah yang saling berkaitan satu sama lain karena nilai demokrasi untuk difahami dan dimiliki masyarakat harus melalui pendidikan, begitu juga sebaliknya agar pendidikan dapat menghasilkan lulusan yang memiliki kemandirian, daya kritis, dinamis, watak demokratis dan senantiasa menjunjung harkat dan martabat manusia, maka pendidikan harus dilaksanakan dengan demokrasi.
3. Indikator lembaga pendidikan yang demokratis adalah (a) manajemen pendidikan bersifat desentralisasi yaitu kebijakan pendidikan lebih banyak ditentukan pada level daerah, level sekolah dan level kelas; (b) materi pendidikan bersifat problem oriented, dimana guru menyampaikan bahan pengajaran berangkat dari problem riel yang dihadapi siswa dan lingkungannya dengan pendekatan konstruktivistik; (c) Siswa merupakan subyek dalam proses pendidikan (peserta didik) dan (d) guru sebagai fasilitator, dinamisator dan motivator yang lebih banyak bersifat tutwuri handayani dengan memberikan motivasi kepada siswa untuk mengembangkan kemandiriannya, kreativitasnya dan toleransinya.
4. Dalam membangun sistem pendidikan yang demokratis di Indonesia melibatkan seluruh pelaku pendidikan dalam mempersiapkan, merancang dan mengembangkan lembaga pendidikan yang berlandaskan prinsip-prinsip dan nilai-nilai demokrasi Pancasila. Nilai demokrasi harus melekat pada seluruh komponen pendidikan yaitu nilai demokrasi melekat pada guru, peserta didik, kurikulum, sarana pendidikan, proses pendidikan dan lingkungan pendiidkan.
Catatan Akhir.
[1] Departemen Pendidikan Nasional, Undang-Undang RI No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta: Pustaka Widyatama, 2003), 9.
[2] Suhardjono, Haruskah Demokratisasi Belajar Menggunakan Konstruktivistik, (Malang, IPTP, 2000), 1.
[3] Djohar, Pendidikan Strategik: Alternatif Untuk Pendidikan Masa Depan, (Jogjakarta, LESFI, 2003), 87.
[4] Daniel Sparingga, Paradigma Baru Pengemasan Pendidikan Yang Demokratis Ditinjau Dari Segi Sosiologi, (Malang, IPTP, 2000), 3.
[5] Iskandar Wiryo Kusuma, Demokratisasi Belajar dan Pembelajaran Ditinjau dari Pengalaman Empirik, (Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Teknologi Pembelajaran di Malang tanggal 7 Oktober 2001), 2.
[6] Ibid
[7] I Nyoman Sudana Degeng, Paradigma Baru Pendidikan Memasuki Era Demokratisasi Belajar, (Makalah Seminar Nasional Teknologi Pembelajaran di Malang, 2001), 5.
[8] Ibid, 6.
[9] Zamroni, Pendidikan Untuk Demokrasi Tantangan Menuju Civil Society, (Yogyakarta, Biagraf, 2001), 58.
[10] Suhardjono, Haruskah Demokratisasi, 4.
[11] Iskandar, Demokratisasi Belajar, 3.
[12] John Dewey, Democracy and Education, (New York: The Free Press, 1994), 192.
[13] Zamroni, Paradigma Pendidikan Masa Depan, (Yogyakarta, Bigraf, 2001), 9
[14] Zamroni, ibid, 60.
[15] Ibid, 61.
[16] Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21, (Yogyakarta, Safiria Insania Press, 2003), 84.
[17] Arief. S. Sadiman, Paradigma Baru Pengemasan Pendidikan yang Demokratis Ditinjau dari Segi Aspek Kebijakan. (Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Teknologi Pembelajaran di Malang, 2001), 1.
[18] Sutan Zanti Arbi, Pengantar kepada Filsafat Pendidikan, (Jakarta: Dikti Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988), 294.
[19] Arief S. Sadiman, Paradigma Baru, 5.
[20] Ibid, 6.
DAFTAR PUSTAKA
Dewey, John, Democracy and Education, New York, The Free Press, 1994
Departemen Pendidikan Nasional, Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta: Pustaka Widyatama, 2003
Djohar, Pendidikan Strategik, Alternatif untuk Pendidikan Masa Depan, Jogjakarta: LESFI, 2003
Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21, Jogjakarta: Safiria Insania Press, 2003
Sadiman, Arif S., Paradigma Baru Pengemasan Pendidikan yang Demokratis Ditinjau dari Segi Aspek Kebijakan, Makalah Seminar Nasional Teknologi Pembelajaran di Malang, 2001
Sudana Degeng, I Nyoman, Paradigma Baru Pendidikan Memasuki Era Demokratisasi Belajar, Makalah Seminar Nasional Teknologi Pembelajaran di Malang, 2001.
Suhardjono, Haruskah Demokrasi Belajar Menggunakan Konstruktivistik, Malang: IPTP, 2000
Sparingga, Daniel, Paradigma Baru Pengemasan Pendidikan yang Demokratis Ditinjau dari Segi Sosiologi, Malang: IPTP, 2000
Kusuma, Iskandar Wiryo, Demokratisasi Belajar dan Pembelajaran Ditinjau dari Segi Pengalaman Empirik, Malang: Makalah Seminar Nasional Teknologi Pembelajaran di Malang, 2001
Zamroni, Pendidikan untuk Demokratisasi, Tantangan Menuju Civil Society, Jogjakarta: Bigraf Publishing, 2001
________, Paradigma Pendidikan Masa Depan, Jogjakata: Bigraf, 2001.
Zanti Arbi, Sutan, Pengantar kepada Filsafat Pendidikan, Jakarta: Dikti Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988
Ditulis Oleh : Unknown ~ Komunitas Blogger Pekalongan
Sobat sedang membaca artikel tentang MEMBANGUN SISTEM PENDIDIKAN DEMOKRATIS. Karena Adminnya Baik hati dan tidak sombong, Sobat diperbolehkan mengcopy paste atau menyebar-luaskan artikel ini, namun jangan lupa untuk meletakkan link dibawah ini sebagai sumbernya