Makalah Tentang Aliran Qadariyah
1.Pendahuluan
Pada masa daulah bani Umayah, para ulama hanyut dalam pembicaraan tentang taqdir yaitu tentang perbuatan tuhan dan perbuatan manusia. Berawal dari pertanyaan apakah manusia berkuasa penuh terhadap perbuatannnya ataukah sebaliknya tuhanlah yang berkuasa dalam menentukan perbuatan manusia itu sendiri. Dikatakan dalam perbincangan itu jika ada suatu perbuatan tertentu dari seorang manusia,
maka ada beberapa kemungkinan :
1. Perbuatan itu karena kekuasaan Allah
2. Perbuatan itu karena Kekuasaan manusia
3. Perbuatan itu karena kekuasaan Allah dan Manusia
Dari masalah ini timbul aliran qadariyah yang berpendapat bahwa manusia memiliki kemerdekaan dan kebebasan yang di berikan tuhan kepadanya sehingga manusia mempunyai kekuasaan atau daya pada tindakan-tindakannya.[1] Manusia berkuasa untuk melakukan perbuatan-perbuatan atas kehendaknya sendiri dan manusia pula yang melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan jahat atas kemampuan dan dayanya sendiri. Dengan demikian aliran qadariyah berpendapat bahwa tuhan tidak berkuasa atas setiap perbuatan manusia.
Bertolak belakang dengan qadariyah, maka aliran jabariyah mengatakan bahwa tuhan berkuasa penuh atas perbuatan manusia karena sudah ditentukan sejak semula oleh qudrat dan iradat tuhan. Manusia menurut jabariyah tak ubahnya seperti wayang yang tidak bergerak kalau tidak digerakkan oleh dalang.[2] Oleh karena itu manusia tidak mempunyai kebebasan. Semua perbuatannya telah ditentukan tuhan semenjak Azal.
Berkaitan dengan persoalan diatas maka jelas sekali terlihat dan bertolak belakangnya kedua aliran (firqah) ini, sehingga antara Qadariyah dan Jabariyah tidak ada persamaan pendapat diantara keduanya. Walaupun kedua aliran ini dianggap menyesatkan oleh kebanyakan umat Islam, setidaknya kedua aliran ini telah membawa nuansa baru bagi sejarah teologi dalam Islam, dan turut memberikan sumbangan pemikiran yang besar bagi umat Islam untuk terus mencari kebenaran-kenaran dari tuhan.
2. PENGERTIAN QADARIYAH DAN SEJARAH KELAHIRANNYA
Secara etimologi kata qadariyah berasal dari bahasa arab yaitu “qadara” yang dalam bahasa arabnya berarti berkuasa [3] atau dapat juga diartikan dengan “dapat dan mampu” Sedangkan menurut terminologi dalam teologi Islam, maka qadariyah adalah nama yang dipakai untuk satu aliran yang memberikan penekanan terhadap kebebasan dan kekuatan manusia dalam menghasilkan perbuatan-perbuatannya. Dalam paham qadariyah, manusia dipandang mempunyai qudrat atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk kepada qadar atau qada tuhan.[4]
Para ahli berbeda pendapat mengenai kapan munculnya aliran qadariyah dan tentang kapan munculnya aliran ini tidak dapat di ketahui secara pasti, namun ada beberapa ahli yang menghubungkan paham qadariyah ini dengan paham khawarij. Pemahaman mereka tentang konsep iman, pengakuan hati dan amal dapat menimbulkan kesadaran bahwa manusia mampu sepenuhnya memilih dan menentukan tindakannya sendiri, baik atau buruk.[5]
Kebanyakan ahli mengatakan bahwa aliran qadariyah muncul pada akhir abad pertama Hijrah. Tokoh yang mempelopori aliran ini bernama Ma’bad al-Juhani al-Bishri, di tanah Iraq.[6] yang kemudian di ikuti oleh Ghailan al-Dimasyqi. Sementara itu Ibnu Nabatah sebagaimana yang dikutip Ahmad Amin bahwa paham qadariyah itu pertama kali muncul dari seseorang asal Iraq yang bernama Abu Yunus Sansawaih seorang penganut agama kristen dan masuk Islam, tetapi kemudian masuk Kristen lagi. Dari Tokoh inilah Ma’bad al-Juhani dan Ghailan al-Dimasyqi menerima paham qadariyah ini.
Setelah munculnya aliran ini dan berkembang dengan bertambahnya jumlah pengikutnya maka pemerintahan banu Umayyah khawatir akan timbulnya pemberontakan, Keberadaan qadariyah merupakan tantangan bagi bagi dinasti Umayyah sebab dengan paham yang di sebarluaskannya dapat menunjukkan bahwa manusia mewujudkan perbuatannya dan dan bertanggung jawab atas perbuatan itu, maka setiap tindakan dinasti banu Umayyah yang negatip akan mendapat reaksi yang keras dari masyarakat, berbeda dengan paham murjiah yang menguntungkan pemerintah.[7]
Aliran qadariyah selanjutnya menempatkan diri sebagai oposisi pemerintahan umayyah, karena aliran ini banyak menentang kebijakan-kebijakan khalifah yang dianggap semena-mena dan merugikan rakyatnya . Apabila firqah jabariyah berpendapat bahwa khalifah banu umayyah membunuh orang, hal itu karena sudah ditakdirkan oleh Allah dan hal ini berarti merupakan topeng kekejaman banu umayyah, maka firqah jabariyah mau membatasi qadar tersebut.[8]
Menurut al-Zahabi, Ma’bad adalah seorang tabi’i yang baik, tetapi ia memasuki lapangan politik dan memihak Abd al-Rahman Ibn al-Asy’as, gubernur Sajistan, dalam menentang kekuasaan bani Umayah. Dalam pertempuran dengan al-Hajjaj, Ma’bad mati terbunuh pada tahun 80. Hijriah.[9] Dalam pada itu Ghailan sendiri terus menyiarkan faham qadariyah-nya di Damaskus, tetapi mendapat tantangan dari khalifah Umar Ibn Abd al-Azis. Setelah khalifah Umar wafat ia meneruskan kegiatannya yang lama sehingga ia mati dihukum bunuh oleh Hisyam Ibn Abd al-Malik pada tahun 105 Hijriah.
3. Ajaran-Ajaran Qadariyah
Adapun pendapatnya yang khas sehingga karena itu golongan ini di sebut “qadariyah” adalah pendapatnya tentang kedudukan manusia diatas bumi. Golongan ini mengatakan bahwa manusia mempunyai iradah yang bebas dan berkuasa penuh dalam menentukan amal yang dilakukan dan karenanya ia bertanggung jawab atas segala perbuatan yang dilakukan. Jika amalnya baik, balasannya juga baik dan jika buruk, maka balasannya juga buruk. Artinya nasib manusia ditentukan oleh manusia sendiri dan tuhan tidak ada campur tangan dalam hal tersebut.[10] Qadariyah menyatakan bahwa manusia tidak dipaksa dan bebas melakukan perbuatannya sendiri, tidak ada kekuatan terhadap segala perbuatannya kecuali atas kehendak manusia itu sendiri, berkata-kata, berjalan dan tidur atas kemauan dan kehendaknya sendiri [11] adapun alasan mereka mengenai hal tersebut adalah :
- Kalau perbuatan itu diciptakan tuhan, sebagaimana dikatakan aliran jabariyah, maka apa perlunya ada taklif (perintah) dan hukum pada manusia.
- Pahala dan siksa akan ada artinya apabila perbuatan manusia itu adalah perbuatannya sendiri.
- Adanya ayat-ayat al-Qur’an tentang tanggung jawab manusia dan akibat perbuatan yang dilakukannya.
Paham tersebut diatas menunjukkan adanya hubungan yang kuat dengan paham keadilan ilahi artinya bahwa Allah akan disebut adil apabila ia memberikan balasan kepada orang yang melakukan kebaikan yaitu berupa pahala begitu juga dengan orang yang melakukan keburukan, maka konsekwensinya berupa dosa dan akhirnya seseorang akan masuk kesorga atau keneraka atas tanggung jawabnya sendiri tanpa adanya campur tangan tuhan. Dengan demikian manusia bertanggung jawab penuh terhadap perbuatannya masing-masing. Inilah yang disebut kedilan tuhan menurut qadariyah. Selanjutnya paham ini masuk kedalam paham muktazilah.
Paham qadariyah dalam beberapa masalah, misalnya mengenai sifat-sifat Allah, mereka menafikan adanya sifat-sifat Allah, khususnya dalam sifat ma’ani. Ghailan mengatakan bahwa sifat-sifat tersebut bukan sesuatu yang berbeda dengan dzat, melainkan identik dengan dzat Allah. Al-Qur’an menurutnya adalah qadim, tidak baharu seperti yang dikatakan oleh Jahm bin Safwan, iman adalah pengakuan dengan hati dan lisan saja, sedangkan amalan bukan bagian dari iman, dan tentang politik Ghailan mengatakan bahwa khalifah atau imam itu boleh dilantik dari selain kaum Quraisy selagi ia mampu menjalankan ajaran al-Qur’an dan sunnah nabi dan tentunya juga ada konsensus umat atasnya.[12]
Tentang perbuatan manusia dan kemampuan manusia dalam menentukan perbuatannya menurut versi qadariyah diatas dapat dilihat bahwa qadariyah telah menggunakan interpretasinya untuk menunjukkan keadilan tuhan itu dapat disamakan dengan keadilan menurut akal (rasional) artinya keadilan tuhan bisa dinilai dengan keadilan menurut akal manusia. Pandangan inilah akhirnya masuk kedalam paham muktazilah sehingga terdapat persamaan-persamaan paham antara satu firqah dengan firqah lainnya, hingga nanti dapat ditemukan tokoh kalam yang pada suatu pandangan ia masuk kedalam suatu firqah, namun pada pandangan lainnya ia sudah masuk kedalam firqah yang lain.
Didalam al-Qur'an dapat dilihat beberapa ayat yang menjadi landasan aliran qadariyah dalam mempertahankan pendapatnya, seperti :
ﺮﻳﺻﺒ ﻦ ﻮﻟﻣﻌﺗ ﺎﻣﺒ ﻪﻧﺍ ﻢﺗﺋﺷ ﺎﻤ ﺍﻮﻠﻣﻋﺇ
“Kerjakan apa yang kamu kehendaki, sesungguhnya ia melihat apa yang kamu perbuat”[13]
ﻤﻬﺴﻓﻨﺄﺒ ﺎﻣﺍﻭﺮﻳﻐﻳ ﯽﺘﺣ ﻣﻭﻗﺒ ﺎﻤﺮﻳﻐﻳﻻﷲﺍﻥﺍ
“Allah tidak akan merubah apa yang ada pada suatu bangsa, sehingga mereka merubah apa yang ada pada diri mereka.”[14]
ﻣ 4401;ﺴﻓﻧﺍﺪﻧﻋ ﻦﻣﻭﻫﻞﻗ ﺍﺫﻫﻰﻧﺍﻡﺘﻟﻗ ﺎﻬﻴﻟﺜﻣ ﻡﺘﺒﺼﺃﺩﻗ ﺔﺒﻳﺼﻣ ﻣﻜﺘﺒﺎﺼﺃﺎﻤﻠﻮﺃ
“Bagaimana? Apabila bencana menimpa diri kamu sedang kamu telah menimpakan bencana yang berlipat ganda (pada kaum musyrik pada perang badar) kamu bertanya? Dari mana datangnya ini? Jawablah : dari kamu sendiri.”[15]
Ditulis Oleh : Unknown ~ Komunitas Blogger Pekalongan
Sobat sedang membaca artikel tentang Makalah Tentang Aliran Qadariyah. Karena Adminnya Baik hati dan tidak sombong, Sobat diperbolehkan mengcopy paste atau menyebar-luaskan artikel ini, namun jangan lupa untuk meletakkan link dibawah ini sebagai sumbernya