Sunday, April 21, 2013

Makalah STP & KI

MAKALAH

KONSEP PENDIDIKAN IBNU SINA

stain

PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Dalam dunia pendidikan sekarang ini kita tidak lepas dari peran seorang edukator dan instrumen lainnya yang mendukung terhadap suksesnya suatu pendidikan. Hal ini sangat penting untuk diketahui, dipahami dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari terutama di dunia pendidikan mengingat rendahnya mutu pendidikan kita. Padahal pendidikan merupakan investasi masa depan yang perlu penanganan serius.

Oleh karena itu, pemakalah bermaksud membuat makalah yang berjudul ” Ibnu Sina” dimana beliau merupakan salah satu dari tokoh pendidikan islam, sehingga kami berharap makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua, khususnya bagi mahasiswa jurusan tarbiyah sebagai calon seorang pendidik.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalahnya adalah:
Bagaimana konsep pendidikan menurut Ibnu Sina baik ditinjau dari segi tujuan pendidikan, kurikulum, metode pengajaran, konsep seorang guru, dan konsep hukuman dalam pengajaran ?
C. Tujuan
Mengetahui pendidikan menurut Ibnu Sina baik ditinjau dari segi tujuan pendidikan, kurikulum, metode pengajaran, konsep seorang guru, dan konsep hukuman dalam pengajaran.

KONSEP PENDIDIKAN IBNU SINA

A. Riwayat Hidup Ibnu Sina
Nama lengkapnya adalah Abu ’Ali Al-Husyn Ibn Abdullah. Penyebutan nama ini telah menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan para ahli sejarah. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa nama tersebut diambil dari bahasa latin, Avin Sina, dan sebagian yang lain mengatakan bahwa nama tersebut diambil dari kata Al-Shin yang dalam bahasa Arab berarti Cina. Selain itu ada juga pendapat yang mengatakan bahwa nama tersebut dihubungkan dengan nama tempat kelahirannya, yaitu Afshana.[1]
Dalam sejarah pemikiran islam, Ibnu Sina dikenal sebagai intelektual muslim yang banyak mendapat gelar. Ia lahir pada tahun 370 H. bertepatan dengan tahun 980 M, di Afshana, suatu daerah yang terletak di dekat Bukhara, dikawasan Asia Tengah. Ayahnya bernama Abdullah dari Belkh, suatu kota yang termasyhur dikalangan orang-orang Yunani, kota tersebut sebagai pusat kegiatan politik, juga sebagai pusat kegiatan intelektual dan keagamaan.
Adapun Ibu Ibnu Sina bernama Astarah, berasal dari Afshana yang termasuk wilayah Afganistan. Namun demikian, ia ada yang menyebutkan sebagai berkebangsaan Persia, karena pada abad ke-10 M, wilayah Afganistan termasuk daerah Persia.
Munculnya Ibnu Sina selain sebagai ilmuwan yang terkenal didukung oleh tempat kelahirannya sebagai Ibukota kebudayaan, dan orang tuanya yang dikenal sebagai pejabat tinggi, juga karena kecerdasannya yang luar biasa. Sejarah mencatat, bahwa Ibnu Sina melalui pendidikannya pada usia lima tahun di kota kelahirannya Bukhara. Pengetahuan yang pertama kali ia pelajari ialah membaca Al-Qur’an. Setelah itu ia melanjutkan dengan mempelajari ilmu-ilmu agama islam seperti tafsir, fiqh, ushuluddin dan lain-lain. Berkat ketekunan dan kecerdasannya, ia berhasil menghafal Al-Qur’an dan menguasai berbagai cabang ilmu keislaman pada usia yang belum genap sepuluh tahun.
Ibnu Sina banyak kaitannya dengan pendidikan, barangkali menyangkut pemikirannya tentang falsafat ilmu.
Menurut Ibnu Sina terbagi menjadi 2, ialah ilmu tidak kekal dan ilmu yang kekal dari peranannya sebagai alat yang dapat disebut logika. Tapi berdasarkan tujuannya, maka ilmu dapat dibagi menjadi ilmu yang praktis dan ilmu yang teoritis.[2]
Sejarah mencatat sejumlah guru yang pernah mendidik Ibnu Sina yaitu Mahmud Al-Massah (ahli matematika), Abi Muhammad Ismail Ibn Al Husyaini (ahli fiqh)s, Abi Abdillah An-Natili (ahli manthiq dan falsafah).
Selanjutnya dengan cara otodidak, Ibnu Sina mempelajari ilmu kedokteran secara mendalam, hingga ia menjadi seorang dokter yang termasyhur pada zamannya. Hal ini didukung oleh kesungguhannya melakukan penelitian dan praktek pengobatan. Berkenaan dengan ini sebagian para penerjemah menduga bahwa Ibnu Sina mempelajari ilmu kedokteran dari ‘Ali Abi Sahl Al-Masity dan Abi Mansur Al-Hasan Ibn Nuh Al-Qamary. Dengan cara demikian, ilmu kedokteran mengalami perkembangan yang didukung oleh keluasan teori dan praktek.
Upaya memperdalam dan menguasai berbagai cabang ilmu pengetahuan dilanjutkan Ibnu Sina pada saat ia memperoleh kesempatan menggunakan perpustakaan milik Nuh Bin Mansyur yang pada saat itu menjadi Sultan di Bukhara. Kesempatan tersebut terjadi karena jasa Ibnu Sina yang berhasil mengobati penyakit Sultan tersebut hingga sembuh.
Dengan menenggelamkan diri dalam membaca buku-buku yang terdapat dalam perpustakaan tersebut, Ibnu Sina berhasil mencapai puncak kemahiran dalam ilmu pengetahuan. Tidak ada satupun cabang ilmu pengetahuan yang tidak dipelajari. Hampir setahun lamanya ia membaca dan menelaah buku-buku yang terdapat di perpustakaan tersebut, sampai datang musibah yang memutuskan semua harapannya, yaitu terjadinya kebakaran pada perpustakaan tersebut hingga memusnahkan buku-buku yang ada di dalamnya.
Ibnu Sina dapat leluasa masuk ke perpustakaan istana  Samawi yang besar.
Berkenaan dengan perpustakaan itu, Ibnu Sina mengatakan sebagai berikut:
“ Semua buku yang aku inginkan ada di situ. Bahkan aku menemukan banyak buku yang kebanyakan orang bahkan tak pernah mengetahui namanya. Aku sendiripun belum pernah melihatnya dan tidak akan pernah melihatnya lagi. Karena itu aku dengan giat membaca kitab-kitab itu dan semaksimal mungkin memanfaatkannya. Ketika usiaku menginjak usia 18 tahun, aku telah berhasil menyelesaikan semua bidang ilmu. “
Ibnu Sina menguasai berbagai ilmu seperti hikmah, manthiq, dan matematika dengan berbagai cabangnya.
Dalam bidang karir dan pekerjaan yang pertama kali ia lakukan adalah seperti orang tuanya, yaitu membantu tugas-tugas pangeran Nuh Bin Mansur. Ia misalnya diminta menyusun kumpulan pemikiran filsafat oleh Abu Al-Husain Al-‘Arudi. Untuk ini ia menyusun buku Al-Majmu’. Setelah ia menulis buku Al-Hasbil wa Al-Manshul dan Al-Birr wa Al-Ism atas permintaan Abu Bakar Al-Barqy Al-Hawarizmy.
Selanjutnya ketika Ibnu Sina berusia 22 tahum ayahnya meninggal dunia, dan kemudian terjadi kemelut politik di tubuh pemerintahan Nuh Bin Mansur dan Abd Malik saling berebut kekuasaan, yang dimenangkan Abdul Malik. Selanjutnya dalam keadaan pemerintahan yang belum stabil itu datang pula serbuan dari Kesultanan Mahmud Al-Ghaznawi, sehingga seluruh wilayah kerajaan Tsamani yang berpusat di Bukhara jatuh ke tangan penyerbu itu.
Dalam keadaan situasi politik yang kurang menguntungkan itu, Ibnu Sina memutuskan diri untuk pergi meninggalkan daerah asalnya. Ia pergi ke Karkang yang termasuk Ibukota Al-Khawarizm. Di kota ini, Ibnu Sina berkenalan dengan sejumlah pakar seperti Abu Al-Khair Al-Khamar, Abu Sahl ‘Isa Bin Yahya Al-Masity Al-Jurjani, Bu Ar-Rayhan Al-Biruni dan Abu Nashr Al- ‘Iraqi. Setelah itu Ibnu Sina melanjutkan perjalanan ke Nasa, Abiwarud, Syaqan, Jajarin dan terus ke Jurjan. Ibnu sina berkesempatan untuk menyelesaikan beberapa karya tulisnya seperti kitab As-Syifa, An-Najab dan Al-Qanun fi Al-thibb.
Setelah itu Ibnu Sina terserang penyakit Colig dan karena keinginannya untuk sembuh demikian kuat, sehingga ia pernah minta obat sampai delapan kali dalam sehari. Sekalipun jiwanya terancam karena penyakitnya, ia masih tetap aktif menghadiri sidang-sidang majelis ilmu di Isfhana. Ibnu Sina juga dikenal sebagai seorang ulama yang amat produktif. Buku-buku karangannya hampir meliputi seluruh cabang ilmu pengetahuan, diantaranya ialah ilmu kedokteran, filsafat, ilmu jiwa, fisika, logika, politik dan sastra Arab.
Karya Ibnu Sina dalam bidang kedokteran antara lain Al-Qanun fi Al-Thibb. Dalam bidang filsafat As-Syifa dan An-Najab. Dalam bidang fisika Fi Asam Al-‘Alum Al-‘Aqliyah. Bidang logika Al-Isaquji. Bidang bahasa Arab Lisan Al-‘Arab.
Adapun dalam bidang agama dibagi menjadi 4 cabang, yakni:
1. Ilmu Akhlak
2. Ilmu cara mengatur rumah tangga
3. Ilmu tata negara
4. Ilmu tentang kenabian
Dalam ilmu politik ini juga termasuk ilmu pendidikan, karena ilmu pendidikan merupakan ilmu yang berada pada garis terdepan dalam menyiapkan kader-kader yang siap untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan.
B. Konsep Pendidikan Ibnu Sina
1. Tujuan Pendidikan
Menurut Ibnu Sina, bahwa tujuan pendidikan harus diarahkan pada pengembangan seluruh potensi yang dimiliki seseorang ke arah perkembangannya yang sempurna, yaitu perkembangan fisik, intelektual dan budi pekerti. Selain itu tujuan pendidikan menurut Ibnu Sina harus diarahkan pada upaya mempersiapkan seseorang agar dapat hidup di masyarakat secara bersama-sama dengan melakukan pekerjaan atau keahlian yang dipilihnya sesuai dengan bakat, kesiapan, kecenderungan dan potensi yang dimilikinya.
Khusus pendidikan yang bersifat jasmani, Ibnu Sina mengatakan hendaknya tujuan pendidikan tidak melupakan pembinaan fisik dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya seperti olah raga, makan, minum, tidur dan menjaga kebersihan. Ibnu Sina berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah untuk mencapai kebahagiaan.
Melalui pendidikan jasmani olahraga, seorang anak diarahkan agar terbina pertumbuhan fisiknya dan cerdas otaknya. Sedangkan dengan pendidikan budi pekerti di harapkan seorang anak memiliki kebiasaan bersopan santun dalam pergaulan hidup sehari-hari. Dan dengan pendidikan kesenian seorang anak diharapkan dapat mempertajam perasaannya dan meningkatkan daya khayalnya.
Ibnu Sina juga mengemukakan tujuan pendidikan yang bersifat keterampilan yang ditujukan pada pendidikan bidang perkayuan, penyablonan dan sebagainya. Sehingga akan muncul tenaga-tenaga pekerja yang profesional yang mampu mengerjakan pekerjaan secara profesional.
Selain itu tujuan pendidikan yang dikemukakan Ibnu Sina tersebut tampak didasarkan pada pandangannya tentang Insan Kamil  (manusia yang sempurna), yaitu manusia yang terbina seluruh potensi dirinya secara seimbang dan menyeluruh. Selain harus mengembangkan potensi dan bakat dirinya secara optimal dan menyeluruh, juga harus mampu menolong manusia agar eksis dalam melaksanakan fungsinya sebagai khalifah  di masyarakat.
2. Kurikulum
Secara sederhana istilah kurikulum digunakan untuk menunjukkan sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh untuk mencapai satu gelar atau ijazah. Kurikulum disini berfungsi sebagai alat mempertemukan kedua pihak sehingga anak didik dapat mewujudkan bakatnya secara optimal dan belajar menyumbangkan jasanya untuk meningkatkan mutu kehidupan dalam masyarakatnya.[3]
Konsep Ibnu Sina tentang kurikulum  didasarkan pada tingkat perkembangan usia anak didik. Untuk usia anak 3 sampai 5 tahun misalnya, menurut Ibnu Sina perlu diberikan mata pelajaran olahraga, budi pekerti, kebersihan, seni suara, dan kesenian.[4]
Pelajaran olahraga tersebut diarahkan untuk membina kesempurnaan pertumbuhan fisik si anak dan berfungsinya organ tubuh secara optimal. Sedangkan pelajaran budi pekerti diarahkan untuk membekali si anak agar memiliki kebiasaan sopan santun dalam pergaulan hidup sehari-hari. Selanjutnya dengan pendidikan kebersihan diarahkan agar si anak memiliki kebiasaan mencintai kebersihan. Dan dengan pendidikan seni suara dan kesenian diarahkan agar si anak memiliki ketajaman perasaan dalam mencintai serta meningkatkan daya khayalnya sebagaimana telah disinggung di atas.
Mengenai mata pelajaran olahraga, Ibnu Sina memiliki pandangan yang banyak dipengaruhi oleh pandangan psikologisnya. Dalam hubungan ini Ibnu Sina menjelaskan ketentuan dalam berolahraga yang disesuaikan dengan tingkat perkembangan usia anak didik serta bakat yang dimilikinya. Dengan cara demikian dapat diketahui dengan pasti mana saja diantara anak didik yang perlu diberikan pendidikan olahraga sekadarnya saja, dan mana saja diantara anak didik yang perlu dilatih olahraga lebih banyak lagi. Ibnu Sina lebih lanjut memperinci tentang mana saja olahraga yang memerlukan dukungan fisik yang kuat serta keahlian dan mana saja olahraga yang tergolong ringan, cepat, lambat, memerlukan peralatan dan sabagainya. Menurutnya, semua jenis  olahraga ini disesuaikan dengan kebutuhan bagi kehidupan anak didik.
Dari sekian banyak olahraga, menurut Ibnu Sina yang perlu dimasukan ke dalam kurikulum adalah olahraga kekuatan, gulat meloncat, jalan cepat, memanah, berjalan dengan satu kaki dan mengendarai unta.
Mengenai pelajaran kebersihan, Ibnu Sina mengatakan bahwa pelajaran hidup seorang anak berusia berusia 3 sampai 5 tahun dimulai dari sejak anak bangun tidur, ketika hendak makan, sampai ketika hendak bangun kembali. Dengan cara demikian, dapat diketahui mana saja anak yang telah dapat menerapkan hidup sehat, dan mana saja anak yang berpenampilan kotor dan kurang sehat.
Selanjutnya kurikulum untuk usia 6 sampai 14 tahun menurut Ibnu Sina adalah mencakup pelajaran membaca dan menghafal Al-Qur’an, pelajaran agama, pelajaran sya’ir dan pelajaran olah raga.
Pelajaran membaca dan menghafal menurut Ibnu Sina berguna disamping untuk mendukung pelaksanaan ibadah yang memerlukan bacaan ayat-ayat al-qur’an, juga untuk mendukung keberhasilan dalam mempelajari agama Islam seperti pelajaran Tafsir Al-Qur’an, Fiqh, Tauhid, Akhlak dan pelajaran agama lainnya yang sumber utamanya Al-qur’an. Selain itu pelajaran membaca dan menghafal Al-Qur’an juga mendukung keberhasilan dalam mempelajari bahasa arab, karena dengan menguasai Al-Qur’an berarti ia telah menguasai kosa kata bahasa arab atau bahasa Al-qur’an. Dengan demikian penetapan pelajaran membaca Al-qur’an tampak bersifat strategis dan mendasar, baik dilihat dari segi pembinaan sebagai pribadi muslim, maupun dari segi pembentukan ilmuwan muslim, sebagaimana yang diperlihatkan Ibnu Sina sendiri. Sudah menjadi alat kebiasaan umat islam mendahulukan pelajaran Al-Qur’an dari yang lain-lain. Hikmahnya antara lain :
a. Untuk mengambil berkat dan mengharapkan pahala.
b. Khawatir kalau anak-anak tidak terus belajar lalu keluar sebelum sampai membaca / menghafal Al-Qur’an. Akhirnya anak-anak tidak mengenal Al-Qur’an sama sekali.[5]
Selanjutnya kurikulum untuk usia 14 tahun ke atas menurut Ibnu Sina mata pelajaran yang diberikan amat banyak jumlahnya, namun pelajaran tersebut perlu dipilih sesuai dengan bakat dan minat si anak. Ini menunjukkan perlu adanya pertimbangan dengan kesiapan anak didik. Dengan cara demikian, si anak akan memiliki kesiapan untuk menerima pelajaran tersebut dengan baik. Ibnu Sina menganjurkan kepada para pendidik agar memilihkan jenis pelajaran yang berkaitan dengan keahlian tertentu yang dapat dikembangkan lebih lanjut oleh muridnya.
Kedua, bahwa strategi penyusunan kurikulum yang ditawarkan Ibnu Sina juga didasarkan pada pemikiran yang bersifat pragmatis fungsional, yakni dengan melihat segi kegunaan dari ilmu dan keterampilan yang dipelajari dengan tuntutan masyarakat, atau berorientasi pasar (marketing oriented). Dengan cara demikian, setiap lulusan pendidikan akan siap difungsikan dalam berbagai lapangan pekerjaan yang ada dimasyarakat.
Ketiga, strategi pembentukan kurikulum Ibnu Sina tampak sangat dipengaruhi oleh pengalaman yang terdapat dalam dirinya. Pengalaman pribadinya dalam mempelajari berbagai macam ilmu dan keterampilan ia mencoba menuangkan dalam konsep kurikulumnya. Dengan kata lain, ia menghendaki agar setiap orang yang mempelajari berbagai ilmu dan keahlian menempuh sebagaimana cara yang ia lakukan.
Dengan melihat ciri-ciri tersebut dapat dikatakan bahwa konsep kurikulum Ibnu Sina telah memenuhi persyaratan penyusunan kurikulum yang dikehendaki masyarakat modern saat ini. Konsep kurikulum untuk anak 3 sampai5 tahun misalnya, tampak masih cocok untuk diterapkan dimasa sekarang, seperti pada kurikulum Taman Kanak-Kanak.
3. Metode Pengajaran
Konsep metode yang ditawarkan Ibnu Sina antara lain terlihat pada setiap materi pelajaran. Dalam setiap pembahasan materi pelajaran Ibnu Sina selalu membicarakan tentang cara mengajarkan kepada anak didik. Berdasarkan pertimbangan psikologinya, Ibnu Sina berpendapat bahwa suatu materi pelajaran tertentu tidak akan dapat dijelaskan kepada bermacam-macam anak didik dengan satu cara saja, melainkan harus dicapai dengan berbagai cara sesuai dengan perkembangan psikologisnya.
Penyampaian materi pelajaran pada anak menurutnya harus disesuaikan dengan sifat dari materi pelajaran tersebut, sehingga antara metode dengan materi yang diajarkan tidak akan kehilangan daya relevansinya. Metode pengajaran yang ditawarkan Ibnu Sina antara lain metode talqin, demonstrasi, pembiasaan dan teladan, diskusi magang, dan penugasan.
Yang dimaksud dengan metode talqin dalam cara kerjanya digunakan untuk mengajarkan membaca Al-Qur’an, dimulai dengan cara memperdengarkan bacaan Al-Qur’an kepada anak didik sebagian demi sebagian. Setelah itu anak tersebut disuruh mendengarkan dan disuruh mengulangi bacaan tersebut perlahan-lahan dan dilakukan berulang-ulang hingga hafal. Cara seperti ini dalam ilmu pendidikan modern dikenal dengan nama tutor sebaya, sebagaimana dikenal dalam pengajaran dengan modul.
Selanjutnya mengenai metode demonstrasi menurut Ibnu Sina dapat digunakan dalam cara mengajar menulis. Menurutnya jika seorang guru akan mempergunakan metode tersebut, maka terlebih dahulu ia mencontohkan tulisan huruf hijaiyah di hadapan murid-muridnya. Setelah itu barulah menyuruh para murid untuk mendengarkan ucapan huruf-huruf hijaiyah sesuai dengan makhrajnya dan dilanjutkan dengan mendemonstrasikan cara menulisnya.
Berkenaan dengan metode pembiasaan dan teladan, Ibnu Sina mengatakan bahwa pembiasaan adalah termasuk salah satu metode pengajaran yang paling efektif, khususnya mengajarkan akhlak. Cara tersebut secara umum dilakukan dengan pembiasaan dan teladan yang disesuaikan dengan perkembangan jiwa si anak, sebagaimana hal ini telah disinggung pada uraian di atas.
Selanjutnya metode diskusi dapat dilakukan dengan cara penyajian pelajaran dimana siswa dihadapkan pada suatu masalah yang dapat berupa pertanyaan yang bersifat problematik untuk dibahas dan dipecahkan bersama.
Berkenaan dengan metode magang, Ibnu Sina telah menggunakan metode ini dalam kegiatan pengajaran yang dilakukannya. Para murid Ibnu Sina yang mempelajari ilmu kedokteran dianjurkan agar menggabungkan teori dan praktek. Yaitu satu hari diruang kelas untuk mempelajari teori dan hari berikutnya mempraktikkan teori tersebut di rumah sakit atau balai kesehatan.
Selanjutnya berkenaan dengan metode penugasan adalah cara penyajian bahan pelajaran dimana guru memberikan tugas tertentu agar siswa melakukan kegiatan belajar. Dalam bahasa arab pengajaran dengan penugasan ini dikenal degan istilah At-Ta’iim Bi Al-Marasil ( pengajaran dengan mengirimkan sejumlah naskah atau modul ).
Dalam keseluruhan uraian mengenai metode pengajaran tersebut diatas terdapat empat ciri - ciri penting, yakni:
a. Uraian tentang berbagai metode tersebut memperlihatkan adanya keinginan yang besar dari Ibnu Sina terhadap keberhasilan pengajaran.
b. Setiap metode yang ditawarkannya selalu dilihat dalam perspektif kesesuaiannya dengan bidang studi yang diajarkannya serta tingkat usia peserta didik.
c. Metode pengajaran yang ditawarkan Ibnu Sina juga selalu memperhatikan minat dan bakat si anak didik.
d. Metode yang ditawarkan ibnu Sina telah mencakup pengajaran yang menyeluruh mulai dari tingkat taman kanak-kanak sampai dengan tingkat Perguruan Tinggi.
Ciri-ciri metode tersebut hingga sekarang masih banyak digunakan dalam kegiatan belajar mengajar. Hal ini menunjukkan bahwa pemikiran Ibnu Sina dalam bidang metode pengajaran masih relevan dengan tuntutan zaman.
4. Konsep Guru.
Konsep guru yang ditawarkan Ibnu Sina antara lain berkisar tentang guru yang baik. Dalam hubungan ini Ibnu Sina mengatakan bahwa guru yang baik adalah berakal cerdas, beragama, mengetahui cara mendidik akhlak, cakap dalam mendidik anak, berpenampilan tenang, jauh dari berolok-olok dan main-main dihadapan muridnya, tidak bermuka masam, sopan santun, dan suci murni.
Lebih lanjut Ibnu Sina menambahkan bahwa seorang guru itu sebaiknya dari kaum pria yang terhormat dan menonjol budi pekertinya, cerdas, teliti, sabar, telaten dalam membimbing anak-anak, adil, hemat dalam penggunaan waktu, gemar bergaul dengan anak-anak dan lain-lain.
Berkenaan dengan tugas pendidikan, maka tugas seorang guru tidaklah mudah. Sebab pada hakekatnya tugas pendidikan yang utama adalah membentuk perkembangan anak dan membiasakan kebiasaan yang baik dan sifat-sifat yang baik menjadi faktor utama guna mencapai kebahagiaan anak, oleh karena itu orang yang ditiru hendaklah menjadi pemimpin yang baik, contoh yang bagus dan berakhlak hingga tidak meninggalkan kesan  buruk dalam jiwa anak yang menirunya.[6]
Jika diamati secara seksama, tampak bahwa potret guru yang dikehendaki Ibnu Sina adalah guru yang lebih lengkap dari potret guru yang dikemukakan para ahli sebelumnya. Dalam pendapatnya itu Ibnu Sina selain menekankan unsur kompetensi atau kecakapan dalam mengajar, juga berkepribadian yang baik. Dengan kompetensi itu, seorang guru akan dapat mencerdaskan anak didiknya dengan berbagai pengetahuan yang diajarkannya, dan dengan akhlak ia dapat membina mental dan akhlak anak.
5. Konsep Hukuman dalam Pengajaran
Ibnu Sina pada dasarnya tidak berkenan menggunakan hukuman dalam kegiatan pengajaran. Hal ini didasarkan pada sikapnya yang sangat menghargai martabat manusia. Namun dalam keadaan terpaksa hukuman dapat dilakukan dengan cara yang amat hati-hati. Ibnu Sina menyadari sepenuhnya, bahwa manusia memiliki naluri yang selalu ingin disayang, tidak suka diperlakukan kasar dan lebih suka diperlakukan halus. Atas dasar pandangan kemanusiaan inilah maka Ibnu Sina sangat membatasi pelaksanaan hukuman.
Penggunaan-penggunaan bantuan tangan adalah pembantu paling diandalkan dan merupakan seni bagi seorang pendidik. Dengan adanya kontrol secara terus-menerus, maka mendidik anak dapat diawasi dan diarahkan sesuai dengan tujuan pendidikan.[7]
Ibnu Sina membolehkan pelaksanaan hukuman dengan cara yang ekstra hati-hati, dan hal itu hanya boleh dilakukan dalam keadaan terpaksa atau tidak normal. Sedangkan dalam keadaan normal, hukuman tidak boleh dilakukan. Sikap humanistik ini sangat sejalan dengan alam demokrasi yang menuntut keadilan, kemanusiaan, kesederajatan, dan sebagainya.
A. Relevansi pemikiran Ibnu Sina
Konsep pendidikan Ibnu Sina ini masih sangat relevan sekali untuk diaplikasikan di zaman sekarang, karena pendidikan yang diaplikasikan oleh ibnu Sina ini sesuai dengan kebutuhan zaman sekarang ini, bahkan di sekolah-sekolah unggulan saat ini masih menggunakan konsep pendidikan seperti yang diaplikasikan oleh Ibnu Sina, mulai dari tujuan pendidikannya sampai kriteria seoarang guru yang diharapkan dalam pendidikan Islam. Hal ini nampak bahwa konsep pendidikan Islam yang diaplikasikan oleh Ibnu Sina benar-benar mengupayakan peningkatan mutu pendidikan Islam.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa konsep pendidikan Ibnu Sina memiliki pandangan tujuan pendidikan yang bersifat bersifat universal. Dari tujuan pendidikan tersebut diharapkan menjadi insan kamil.
Dengan demikian rumusan tujuan pendidikan yang didalamnya terkandung strategi akan mengenai dasar dan fungsi pendidikan yang harus dikembangkan potensi dan bakatnya secara optimal, sehingga ia eksis dalam melaksanakan fungsinya sebagai khalifah.
Dan juga Ibnu Sina memperhatikan tingkat perkembangan usia anak didik seperti pelajaran olahraga, budi pekerti, kebersihan, dan kesenian dan lain-lain. Kesemuanya disusun di dalam kurikulum. Dari konsep kurikulum yang ia tawarkan adalah dari segi aspek psikologis, pragmatis fungsional, dan strategi.
Adapun konsep metode pengajaran ia menggunakan berbagai macam cara mendidik sesuai dengan perkembangan psikologisnya seperti metode talqin, demonstrasi, pembiasaan, teladan, diskusi, magang, dan penugasan.
Guru yang ideal adalah guru yang baik yang memiliki kepribadian yang agamis yang mencakup di dalamnya, bahkan dapat dijadikan sebagai tauladan oleh peserta didiknya. Sedangkan konsep hukuman pada anak didik ia menekankan pada sikap humanistik.
B. Saran
Kita sebagai mahasiswa tentunya meneladani terhadap pemikiran para tokoh pendidikan di dunia Islam seperti Ibnu Sina, serta mengkaji, memahami yang tersirat di dalamnya dan mengimplementasikannya dalam kehidupan ini.



DAFTAR PUSTAKA

Azra, Azyumardi. 1999. Esei-esei Intelektual Muslim Pendidikan Islam. Ciputat: PT Logos Wacana Ilmu.
Hosain, Sayyed. 2006. Tiga Madzhab Ulama Filsafat slam. Yogyakarta: IRCisod.
Ramayulis. 1994. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia.
Said, Usman, Jalaluddin. 1999. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo.
Yunus, M. 1989. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: PT Hidakarya Agung

[1]Sayyed Hosain, Tiga Madzhab Ulama Filsafat Islam, (Yogyakarta:IRCisod, 2006), h.27
[2]Jalaluddin dan Drs. Usman Said, Filsafat Pend. Islam, (Jakarta:PT. Raja Grafindo, 1999 ), h.136
[3]Dr. Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta:Kalam Mulia,1994), h.62.
[4]Ibnu Sina, Kitab As-Syiasah Fi Attarbiyah, ( Mesir: majalah Al-Masyrik, 1906) h.1076
[5]Prof. Dr. H. M. Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, ( Jakarta:PT Hidakarya Agung, 1989), h. 53
[6]Prof. Dr. Azyumardi Azra MA, Esei-esei Intelektual Muslim Pendidikan Islam, ( Ciputat:PT. Logos Wacana Ilmu, 1999), h.81
[7]Prof. Dr. Azumardi Azra MA, Esei-esei Intelektual Muslim Pendidikan Islam, (Ciputat:PT. Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 83

Ditulis Oleh : Unknown ~ Komunitas Blogger Pekalongan

Hasan Ali Sobat sedang membaca artikel tentang Makalah STP & KI. Karena Adminnya Baik hati dan tidak sombong, Sobat diperbolehkan mengcopy paste atau menyebar-luaskan artikel ini, namun jangan lupa untuk meletakkan link dibawah ini sebagai sumbernya

:: Get this widget ! ::

0 Comments
Tweets

0 comments:

Next Home